Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Wednesday, March 16, 2011

Bagian 26 - Grand Rally



Ketika aku dan Rydel sampai di lokasi start yang terletak di gerbang kota Mauville, tampak sudah cukup banyak orang yang berkumpul. Sebagian dari mereka membawa sepeda, sementara sisanya tampak sedang bersama Pokemon-Pokemon mereka yang berbadan besar atau yang bisa terbang: Rapidash, Tauros, Charizard, Altaria, dan bahkan Pokemon lambat seperti Camerupt dan Torkoal pun ikut serta.

“Hei, lihat! Mereka peserta juga,” ujar Rydel sambil melambaikan tangannya pada dua orang anak laki-laki seusiaku. Yang satunya berambut hijau acak-acakan, ia bersama seekor Torchic berwarna kuning emas. Sementara temannya yang berambut abu-abu dengan panjang sebahu ditemani Larvitar-nya.

“Nah, Luna! Kenalkan, ini Ramz dan Arcea, mereka kenalanku juga,” kata Rydel. Dengan agak ragu aku menjabat tangan kedua anak itu. Si Rambut Hijau yang bernama Ramz tersenyum ramah padaku. “Hai, aku Luna,” ujarku berusaha ramah. “Aku Ramz! Ini temanku, Arcea,” katanya sambil memperkenalkan temannya, yang sepertinya agak pendiam. “Kau ikut balapan kan? Pakai apa?”



Aku pun menunjuk ke arah Moe si Ditto yang bertengger malas di atas topi hitam berbentuk telinga kucing yang kupakai. Rydel kemudian menyela, “Baiklah anak-anak, sekarang aku harus pergi. Lombanya akan dimulai sebentar lagi. Semoga beruntung!” pesannya sebelum berlari menuju menara pengawas lomba. Peserta yang lain sudah mulai bersiap-siap. Moe, yang masih diliputi rasa malas akibat panas menyengat, memilih untuk bertengger di tas selempangku. Dasar Pokemon yang aneh, diam di tempat yang tidak biasanya.

“Kau mau ke mana?” tanya Ramz tiba-tiba. Aku menoleh, tidak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Kau pasti bukan orang sekitar sini, kan? Aku bisa lihat itu. Apa kau sedang dalam perjalanan?”

Mau tak mau aku mengangguk. “Aku akan ke kota Littleroot, untuk menemui Profesor Birch,” ujarku. “Hei, berarti tujuan kita sama! Aku dan Arcea juga hendak ke sana!” serunya. “Bagaimana kalau kita jalan bareng?”

Bersamaan dengan itu, peluit dibunyikan dan peluru kosong ditembakkan ke udara, tanda lomba akan dimulai. “Baiklah, tidak masalah,” aku menyahuti tawaran Ramz sebelum akhirnya melesat meninggalkan ia dan Arcea di belakang. Aku berlari dengan santai, mengingat aku tidak memiliki ambisi khusus untuk mengikuti lomba ini. Namun, belum seberapa lama menempuh perjalanan, jalan kami dihadang oleh sebuah sungai yang cukup luas. Sementara itu tidak ada jembatan yang bisa digunakan, dan aku sendiri sedang tidak minat basah-basahan.

“Bagus sekali, Tyrano!!”

Aku menoleh. Bocah bernama Arcea dan Larvitarnya yang bernama Tyrano itu rupanya sudah setengah jalan melalui sungai. Dengan menggunakan kekuatan si Pokemon, Tyrano menarik lumpur dari dasar sungai dan membentuknya sebagai pijakan. Cukup beresiko untuk Larvitar yang lemah terhadap air, namun kecerdikannya patut dipuji. “Nah, Moe, sekarang giliranmu!”

Seketika Moe berubah wujud menjadi Poliwag, Pokemon serupa berudu berwarna biru tua. Ia meniupkan angin dingin dari mulutnya, yang perlahan-lahan membekukan permukaan sungai. Setelah beberapa saat, es yang terbentuk sudah cukup tebal untuk kulalui. “Terima kasih banyak, Moe!” ucapku sambil menapaki es bersama Moe yang sudah kembali ke wujud aslinya.

BLAARR!!! Ketika aku sudah sampai di tepi sungai, kudengar suara ledakan yang cukup besar di belakang. Aku tercenung. Ramz rupanya menggunakan jurus lemparan api milik Torchic-nya untuk menguapkan sebagian air sungai. Cara yang cukup merepotkan memang, namun ia berhasil. Pelan tapi pasti, ia mulai menyusulku ke seberang sungai. Aku tersenyum simpul. Anak ini tidak mudah menyerah juga, gumamku dalam hati. “Nah, Moe, kurasa cukup sampai di sini saja bersenang-senangnya,” bisikku pada si Ditto. Dengan segera, ia mengubah wujudnya menjadi sesosok naga kuning. Tanpa buang-buang waktu, aku segera melompat ke punggungnya.

Moe yang berwujud Dragonite itu membubung tinggi. “Cukup,” pintaku pada Moe. Ia pun mengepakkan sayapnya dan mulai terbang maju dengan kecepatan sedang. Aku sendiri mengeluarkan binokulerku dan mengamati peserta yang tumpah ruah di atas rute balapan yang terbentang dari Mauville hingga Petalburg. Panjang juga, pikirku.

Mendadak Moe meraung lemah. Aku menoleh ke arahnya. “Oh, kau lapar?” tanyaku sambil mengeluarkan sebuah Pecha Berry dari tasku. Kulempar berry itu ke udara, yang kemudian disambar Moe dengan lahap. Aku terkekeh. “Rupanya kau memang kelaparan, ya?”

Aku melanjutkan pengamatanku selama beberapa lama. Sesekali kutangkap sosok Ramz yang masih semangat bersama Torchic-nya. Sepertinya ia dihadang sekelompok Breloom, tapi aku yakin ia bisa menghadapinya sendiri. Lalu aku sadar, aku tak melihat Arcea maupun Larvitar-nya. Ke mana bocah itu? Tapi, ah, peduli amat, gumamku dalam hati.

Beberapa saat kemudian, aku menangkap sesuatu yang aneh dengan binokulerku. “Moe, turun,” ujarku. Moe melesat menuju tanah. Begitu ia mendarat, aku langsung melompat dari punggungnya. Di hadapanku, tampak berbongkah-bongkah batu besar menutupi rute balapan, membentuk tumpukan setinggi kira-kira 3 meter. Kuperhatikan keadaan di sekitar bebatuan itu. Tak jauh dari sana, kulihat sebuah tebing gundul yang cukup tinggi. “Sepertinya ini batu runtuhan dari tebing itu,” gumamku. “Moe, kau mau bantu aku menyingkirkannya?”

Moe yang kini sudah kembali ke wujud aslinya menggeleng. Sepertinya ia sudah cukup kelelahan karena penebangan barusan. Aku mendesah. “Baiklaah... tapi sekarang bagaimana caranya menyingkirkan semua ini?”

“Heei, Lunaa!”

Aku berbalik. Ah, itu Ramz! Ia tampak semangat sekali berlari. Kemudian ia berhenti sambil ngos-ngosan. “Kau cepat sekali.”

“Ah, ini semua berkat Moe,” jawabku enteng. “Ngomong-ngomong, di mana Arcea?”

“Dia lewat jalan bawah tanah dengan Larvitar-nya,” sahut Ramz. Aku manggut-manggut. “Oh ya, sepertinya kita punya sedikit masalah di sini,” kataku sambil melirik ke arah tumpukan batu-batu di belakangku. Ramz agak kaget juga melihatnya. “Kurasa kita tidak akan bisa melewati tumpukan batu seperti ini, yeah, kecuali kau mau memanjat,” kataku sambil melipat tangan.

Namun Ramz malah terkekeh. “Ah, kau terlalu mudah menyerah! Lihat ini!” serunya bersemangat. “Blaze! Gunakan Roda Api dan jurus mematuk sambil berputar!” perintahnya. Heh, jurus macam apa itu? tanyaku heran. Tapi yang ada kemudian, Torchic kecil itu mulai menghancurkan bebatuan-bebatuan yang besarnya beberapa kali lipat ukuran tubuhnya dengan gerakan yang cepat, nyaris tak tertangkap mata. Gila, kuat sekali Pokemon ini!

Tak sampai lima menit, jalan sudah cukup terbuka untuk kami lewati. Aku terperangah. “Hebat sekali!” pujiku. Ramz dan Blaze-nya hanya terkekeh sambil tersenyum bangga. “Tapi, kurasa sampai di sini saja,” ujarku tenang.

“Maksudmu?”

“Pokoknya aku harus pergi lebih dulu. Sampai nanti!” seruku sambil melompat ke atas punggung Dragonite-Moe. Aku hanya bisa tertawa melihat Ramz berteriak memanggilku sambil berlari dari bawah. Hmm, terkadang aku memang bisa jadi orang jahat juga.

Kukeluarkan lagi binokuler-ku. Pandanganku menyapu seluruh rute balapan. Kulihat, garis akhirnya sudah dekat. Aku tersenyum. Kukeluarkan PokeGear-ku dari saku, dan kuketik sebaris pesan. “Kepada Tuan Spenser... Jalur Sepeda aman dari mereka,” gumamku pelan.

No comments:

Post a Comment