Cerita ini mengambil tempat di kediaman Luna, sehari setelah ia terbangun dari pertarungannya melawan Giovanni.
Pagi yang cerah. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamarku, terasa sedikit menyengat di kulit kakiku yang telanjang. Hari itu aku agak ogah bangun, karena badanku masih sakit-sakit semua. Tapi karena perutku sudah minta diisi, mau tidak mau aku pun bangkit dari tempat tidurku.
Setelah membereskan kamar dan mandi, aku segera turun ke lantai bawah. Tapi di sana aku hanya mendapati seorang gadis berambut hitam sepanjang dada yang sedang cengar-cengir sambil menikmati sepotong roti bakar di meja makan. Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencerna makna pemandangan di depanku. Aiih, aku sampai lupa kalau Sunny masih menginap di rumahku!
“Baru bangun tidur, Tuan Putri?” ledeknya saat aku hendak duduk di sampingnya. Aku tidak menjawab, malah langsung menyambar roti bakar yang tersisa di atas meja. “Uh, yang lain mana?” tanyaku tak acuh.
“Ayahmu mesti kembali bertugas di Liga Johto. Ibumu pergi ke Kota Vermillion—entah untuk apa. Sedangkan kakakmu... uh, dia tidak bilang mau ke mana.”
“Eeh? Mereka semua pergi? Lalu siapa yang menjaga Gym?” tanyaku dengan mulut penuh roti bakar. Sunny mengangkat bahunya. “Aku juga tidak tahu... Mereka tidak bilang apa-apa.”