Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Wednesday, March 16, 2011

Bagian 27 - Heartnet

Aku hampir saja sampai ketika hujan dengan derasnya turun begitu tiba-tiba. Mendadak PokeGear-ku berdering. Rupanya dari Ramz. “Halo?”

“Hei Luna, di mana kau?” tanyanya. Suaranya terdengar panik.

“Aku sudah dekat finish. Maaf, sepertinya aku yang menang,” ucapku sambil tersenyum. “Iya, terserah! Tapi tolong cepat panggil tim medis!” serunya tidak sabar. Aku mengernyitkan dahi. “Memangnya ada apa?” tanyaku. “Arcea... sepertinya dia diserang!” kata Ramz dengan cepat. “Baiklah, tenang, akan kupanggilkan mereka,” ujarku mengakhiri percakapan.

Kutepuk punggung Moe pelan, memberi isyarat padanya untuk terbang lebih cepat. Jantungku berdegup kencang. Mungkinkah pelakunya... mereka?

Moe langsung melesat ke arah gedung pengawas di mana Rydel sedang berjingkrak-jingkrak menyambutku. “Nona Muda! Kau sampai paling awal, hebat seka...” Ucapan pria itu terpotong ketika aku menjulurkan telapak tangan, memintanya diam. “Tuan Rydel, aku butuh tim medis sekarang juga. Ramz dan Arcea sepertinya dalam masalah.”

Seketika mata pria itu terbelalak. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung berlari ke dalam gedung dan segera kembali dengan sekelompok tim medis berbaju putih-putih dengan lambang palang merah. Tanpa membuang waktu, kami segera melesat mencari Ramz dan Arcea dengan menunggangi Pokemon kami masing-masing.

Dengan Moe, aku melesat setinggi mungkin agar aku bisa melihat lebih jauh. Segera saja mataku menangkap sebuah reruntuhan aneh yang ada di tengah jalur lomba. Reruntuhan itu berbeda dengan batuan yang sebelumnya menghalangi jalanku, dan ingatanku mengatakan sebelumnya benda itu tidak ada di sana. “Ke sana! Coba kita lihat!” seruku memberi perintah pada tim medis. Kami langsung saja mendarat dan menemukan Arcea, Ramz, serta Pokemon mereka terkapar tak sadarkan diri.

Tim medis segera mengangkut mereka kembali ke pos mereka di dekat garis finish, sementara aku terdiam di sana. Kuperhatikan sekeliling. Ada sisa-sisa salju dan es di beberapa tempat, gumamku dalam hati. Berarti mereka diserang oleh Pokemon es... dan kurasa Blaze seharusnya bisa mengatasinya. Tapi di mana sekarang Pokemon itu?

“Ayo kita kembali, Moe,” kataku pelan. Seketika PokeGear-ku berdering. Dari Kak Spenser. “Ya, halo?” tanyaku ketika kuangkat teleponnya.

“Yo, Luna! Bagaimana keadaan di sana? Sungguh tak ada masalah?” ia bertanya dengan nada datar. Aku mendesah pelan. “Sebenarnya... baru saja terjadi masalah.”

“Wow, ada apa?”

“Kau tahu dua anak peserta lomba yang kuberitahukan tadi? Mereka diserang oleh seseorang—atau sesuatu, aku tak yakin,” ujarku. “Yang jelas melibatkan Pokemon yang menguasai jurus es.”

Spenser berdeham-deham. “Ini aneh,” ucapnya. “Laporan yang kuterima... mereka tidak pernah menyerang penduduk sipil yang tidak ada hubungannya dengan tujuan mereka.”

“Entahlah,” sahutku sambil mengangkat bahu. “Akan kuselidiki lebih lanjut.”

“Ya, terimakasih atas bantuanmu, Luna. Berhati-hatilah.”

KLIK! Telepon kututup dan aku meloncat ke atas punggung Moe. Tanpa buang-buang waktu, kami segera melesat ke garis finish.

***

Aku sedang asyik mengutak-atik PokeGear-ku ketika kulihat Ramz yang pingsan mulai terbangun. Aku segera bangkit dari kursiku yang terletak di samping tempat tidurnya. “Hai, mau tidur sampai kapan?” tanyaku sambil tersenyum lebar. Anak cowok itu mengerjapkan matanya. “Arcea saja sudah bangun dari tadi lho!” tambahku.

Ia menoleh ke sekeliling, wajahnya terlihat kebingungan. Tiba-tiba saja Rydel menyeruak datang. “Ramz! Kau sudah sadar?”

“Kau bisa melihatnya sendiri, Tuan Rydel,” sahutku enteng. Dengan senyum mengembang, pria itu segera mendekati Ramz dan menyerahkan sebuah piala untuknya. “Kau hebat! Piala ini untukmu!” kata Rydel. Ramz melihatnya dengan tatapan bingung. “Hah? Tapi... bukannya pemenangnya Luna?”

Aku menggeleng. “Itu hadiah dariku karena sudah menyelamatkan seseorang. Kuhargai usahamu itu,” kataku sok cool sambil menunjuk Arcea, yang tertawa ringan. “Oh ya! Satu lagi! Ini Pokemon hadiah kejuaraan ini! Pokemon dari wilayah lain!” ucap Rydel sambil menyerahkan sebuah PokeBall pada Ramz. Ketika ia menekan tombol di tengahnya, muncullah sesosok Pokemon bersayap warna kombinasi hitam, abu-abu dan putih.

“Pokemon itu namanya Starly, kudapat dari seorang temanku!” jelas Rydel. “Hmm, mirip Taillow ya?” tanya Arcea. Aku hanya tersenyum kecil. “Sekarang, siapa akan kaunamakan Pokemon ini?” tanyaku pada Ramz.

"Hmm... Starly... Baik! Akan kunamakan kau... Rave!"

***

Esok harinya, aku dan Ramz pamit pada Rydel untuk pergi ke Kota Littleroot. Di sana kami akan menemui Prof. Birch. Arcea sendiri melanjutkan perjalanannya ke Kota Rustboro dengan berjalan kaki.

Dengan menunggangi Moe yang berwujud Tropius, aku dan Ramz segera melesat menuju Littleroot yang tidak terlalu jauh dari sana. Sebenarnya, Moe bisa saja terbang lebih cepat jika dia mengambil sosok Pokemon lain, seperti Dragonite yang kemarin, atau Zapdos si Pokemon legenda yang terkenal akan kecepatannya. Tapi, hei, tidak ada salahnya ‘kan, menggunakan sosok Pokemon asli daerah Hoenn selagi aku masih di sini? Selain itu, dengan begini ia tidak akan terlihat begitu mencolok di langit.

Begitu kami membubung di angkasa, baru kuperhatikan kalau Ramz yang membonceng padaku, sedari tadi diam saja. Dengan agak canggung aku berusaha memulai percakapan. “Hei Ramz, apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanyaku.

“Hmm... Mungkin aku akan berkelana... dan bertarung,” jawabnya tenang.

Mulutku membentuk huruf O. “Bertarung ya? Apa kau ingin jadi Champion?” tanyaku lagi. Mendadak aku jadi teringat akan pertemuanku dengan Steven Stone, si champion wilayah Hoenn. Aku belum bertemu dengannya semenjak hari itu di Kota Pewter. Apa dia masih jadi champion? pikirku.

Ramz menggeleng. “Champion? Aku tidak tertarik,” sahutnya. Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa tidak? Kulihat kau cukup ahli bertarung,” tanyaku heran. Ia menggeleng lagi. “Bukan masalah teknik, tapi...” ucapnya terputus. Aku memiringkan kepalaku, agak heran dengan sikapnya. “Sebenarnya... aku rasa aku kenal dengan suara orang yang menyerangku...”

Mataku membelalak. “Hah? Yang benar? Siapa dia? Kenapa tidak cerita dari tadi?” tanyaku dengan nada gusar. Mungkinkah...?

Ramz terlihat gugup. “Dia... sebenarnya... dia itu ayahku, Maxima Heartnet...” ucapnya lirih.

“Maxima Heartnet? Bukankah dia champion Hoenn yang terdahulu?”

“Hah? Yang benar?” Ramz terkejut. Aku mengangguk dengan bingung. “Iya... masa kau tidak tahu? Katanya dia ayahmu?”

“A... aku...” katanya terputus-putus. Aku menatapnya, menunggu jawabannya dengan sabar. Tapi Moe mendadak meraung pelan. Aku menoleh. Rupanya kami sudah sampai di Kota Littleroot. Moe segera menjejakkan kaki-kaki Tropius-nya dengan mulus di atas tanah di halaman laboratorium Prof. Birch.

“Nanti saja aku lanjutkan ceritaku,” ujar Ramz dengan nada pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada rahasia apa pada anak itu?

No comments:

Post a Comment