Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Friday, March 25, 2011

Bagian 29 - Mudkip yang Perkasa


Sungguh, butuh perjuangan ekstra keras untuk menaklukkan Mudkip yang hendak diberikan Profesor Birch ini. Untuk memasukkannya ke dalam Poke Ball saja, aku harus mengejar-ngejarnya keliling halaman belakang, bahkan sampai aku hampir terguling ke dalam kubangan lumpur panas yang dipenuhi Slugma. Singkatnya, aku hampir mati!! Sementara itu, Profesor Birch hanya menonton dari pinggir halaman sambil sesekali menyemangatiku. Huh, bantu aku, kenapa?! Dengusku kesal dalam hati.

“Heeeeeeiiii!!!!! Kemari kaaaauuuu!!!” jeritku kesal. Tapi Mudkip itu malah terus berlari. Kali ini ia menabrak sekelompok Gulpin. Pokemon-pokemon berbentuk gumpalan hijau itu sampai terguling-guling ke semak-semak.

Hup! Kulemparkan Poke Ball Moe. Ditto berwarna pink itu keluar dengan tampang kelelahan. “Moe, tolong bantu aku menangkap anak itu, ya?” pintaku sambil ngos-ngosan padanya dan menunjuk ke arah si Mudkip pembuat onar. Tapi Moe tetap bergeming. Ck! Mulai lagi sifat manjanya keluar. “Ayolah Moee… jangan begituuu…” erangku. Tapi ia tetap pada pendiriannya. Dengan satu gerakan tenang, ia menatapku dengan pandangan sayu, menghela napasnya, dan kembali masuk ke dalam Poke Ball-nya.

Brengsek.

“Aaaarghhh!!! Lupakan saja! Aku tangkap kau sekaraaaaangg!!!” aku berseru kesal. Sebuah Poke Ball kosong kuraih dari tasku, ini yang kesepuluh sejauh ini. Dengan kekuatan penuh aku mengayunkan tanganku, dan dengan kekuatan penuh pula, aku lemparkan ke arah Mudkip yang sedang mejeng di antara beberapa Roselia. PLUKK! Terkena tepat di atas sirip kepalanya. Mudkip itu kaget. SYUUT! Ia berubah menjadi cahaya kemerahan dan terhisap masuk ke dalam Poke Ball.

Aku menunggu dengan terengah-engah sambil menatap Poke Ball yang bergoyang-goyang tanpa henti. Jantungku berdegup kencang. Kumohon… Tertangkaplah…

Poke Ball terus bergerak…

Terus…

KLIK! Poke Ball berhenti bergerak. Tertangkap!

“Hell-yeah!!!” seruku senang. Dengan satu lompatan tangkas, kusambar Poke Ball itu dari tanah dan segera berlari-lari ke arah Profesor Birch. “Lihat Prof.! Aku berhasil menangkapnya!”

Professor Birch tertawa senang melihat keberhasilanku. “Bagus, kau sudah berusaha keras,” pujinya. “Sekarang, kau akan memanggilnya siapa?”

Aku berpikir sejenak. Nama apa ya, yang bagus? “Ehm, bagaimana kalau Rift saja?” gumamku. Kulirik si Mudkip yang sedang berada di dalam Poke Ball-nya. Tampangnya masih tidak acuh seperti sebelumnya.

“Tidak buruk juga. Nah, kalau begitu, ayo kita kembali ke laboratorium,” ajak Profesor. Kami pun berjalan ke dalam Lab Aku dan Profesor Birch kembali ke dalam lab. Tiba-tiba Ramz, Sapphire dan Ruby masuk ke dalam dari arah pintu depan. Mereka tampak bersemangat.

“Kalian dari mana?” tanya Profesor. Ramz terkekeh-kekeh. “Sapphire menantangku bertarung, dan aku menang! Iya kan, Blaze?”

Torchic berbulu keemasan itu mengangguk riang. Profesor Birch bertepuk tangan. “Kau memang hebat, Ramz,” pujinya. “Nah, bagaimana kalau kita adakan pertarungan ronde kedua—aku yakin ini akan jadi pertarungan yang menarik. Bagaimana, Ruby? Luna?”

Aku menoleh kaget. Hah? Bertarung? Profesor Birch mengangguk ke arahku. “Ya, benar. Ruby itu pelatih yang kuat, aku yakin kau tak akan mendapatkan perlawanan yang mudah,” kata Profesor sambil nyengir kuda. “Dan ini kesempatan yang bagus untuk meningkatkan kedekatanmu dan Rift—benar kan?”

Profesor menoleh ke arah Mudkip—yang kunamai Rift—yang berdiri di belakangku dengan wajah enggan. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. “Uhm... kurasa ini...”

“Huh, aku tidak begitu menginginkan pertarungan,” balas Ruby dengan tampang datar. “Tapi kalau Profesor berkata demikian, kurasa aku tidak keberatan.”

Aku mendesah. Tapi, ya, Profesor ada benarnya juga. Cepat atau lambat aku harus menjadi lebih akrab dengan Rift, atau kalau tidak aku sendiri yang akan repot. “Baiklah, Ruby, aku menantangmu!”

***

“Nana! Aku memilihmu!”

Ruby mengeluarkan seekor Mightyena dari Poke Ball-nya. Wow, Mightyena itu... tampak sangat cantik, begitu menurutku. Bulunya tampak sangat halus dan mengkilap. Seolah-olah ia jarang mengajak mereka... bertarung. Tapi, Profesor sendiri bilang bahwa ia bukan lawan yang mudah, kan? Kurasa aku tidak boleh menganggapnya remeh.

Aku menelan ludah. “Rift, gunakan Tembakan Air!”

Aku mendapatkan kesempatan pertama untuk menyerang, jadi keuntungan ada di pihakku. Atau begitu menurutku. Atau tidak sama sekali. Rift malah diam saja di tengah halaman, memasang wajah kusam. Ugh... “Nana! Serangan menggigit!” perintah Ruby. Nana melompat, rahangnya terbuka lebar, siap untuk menggigit Rift. “Rift, menghindar!” seruku. Ia bergeser sedikit, membuat serangan Nana meleset. Bagus!

“Sekarang, Rift! Tembakan Air!” perintahku lagi. Nana sendiri sudah bersiap-siap untuk melancarkan serangan yang sama. Namun lagi-lagi Rift hanya diam, tidak mendengarkan perintahku. Padahal Nana sudah melompat ke hadapannya. “Rift!”

Mendadak, Rift ikut melompat, dan menabrakkan dirinya sekuat mungkin pada wajah Nana. Mightyena itu tidak menyangka akan hal itu, dan langsung terkapar pingsan. Aku melongo. “Hmm, jurus Double-Edge?” gumam Ruby, masih dengan tampang datarnya. Ia pun mengembalikan Nana ke dalam Poke Ball. “Zuzu, giliranmu!”

Ruby mengeluarkan sesosok Pokemon biru berukuran besar, yang lagi-lagi tidak kukenali. “Wow! Itu Swampert!” pekik Ramz dari pinggir halaman. Hmm, Swampert? Aku tidak pernah dengar, batinku cuek. Kulirik Rift. Ia tampak sedikit kelelahan karena jurus Double-Edge memang bisa membuat penggunanya terkena efek balik serangan yang jumlahnya tidak sedikit. “Kau tidak apa-apa, Rift?”

Ia lagi-lagi tidak menggubrisnya. “Kuanggap itu jawaban ya,” gumamku sedikit khawatir. Nah, sekarang, bagaimana caranya mengalahkan Pokemon bernama Swampert itu?

“Zuzu! Jurus Air Terjun!!” komando Ruby. Zuzu berlari mendekat ke arah Rift, tubuhnya berpendar berwarna biru muda. Ia menyeruduk Rift yang tidak awas. BRUKK!! Rift terpental cukup jauh, tapi sepertinya ia masih bisa bertahan. Ufh, nyaris saja! Aku berpikir sebentar, kira-kira jurus apa lagi yang bisa digunakan Rift? Namun sebelum aku selesai, Rift sudah melaju kencang, ekornya diselimuti warna kebiru-biruan, hampir sama dengan Zuzu tadi. Apa ini semacam versi lain dari Air Terjun? Entahlah. Aku cuma bisa berteriak, “Seraang!!”

BRUAKK!! Rift memukulkan ekornya pada Zuzu, dan hebatnya, Zuzu sampai terpental cukup jauh! “Hebat!” kataku takjub. Ramz, Sapphire dan Profesor Birch yang menonton juga terpana dibuatnya. “Baiklah Rift, lakukan sekali lagi!”

Entah apa yang terjadi kemudian, apakah ia bergerak karena suruhanku atau inisiatif sendiri, tapi Rift langsung berlari kencang mendekati Zuzu dan memukulkan ekornya berkali-kali. Zuzu pun ambruk!

“Terima kasih, Rift!” ujarku sambil memasukkannya kembali ke dalam Poke Ball. Rift tidak banyak melawan seperti ketika aku berusaha memasukkannya ke dalam bola pertama kali. Mungkin karena ia sudah lelah.

“Tadi bagus sekali! Mengagumkan!” puji Profesor Birch. “Sepertinya kalian akan segera akrab.”

“Eh, terima kasih, Profesor,” cetusku grogi. “Itu tadi keren sekali!” timpal Ramz.

“Nah, anak-anak, sekarang aku akan menyembuhkan Pokemon kalian yang terluka. Sementara itu, berisitirahatlah dulu,” kata Profesor dengan ramah sambil mengajak kami masuk. Di dalam, sudah disuguhkan kue dan teh untuk kami semua. Yum!

***

Menjelang sore, aku dan Ramz pamit untuk melanjutkan perjalanan kami. Kami berjalan sampai gerbang utara kota Littleroot. “Hei, kau mau ke mana setelah ini, Luna?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin akan berkeliling sedikit. Ke Petalburg atau Rustboro, mungkin,” jawabku. “Kau sendiri?”

“Yah, aku masih ingin latihan lagi. Kurasa kita berpisah jalan di sini,” ucapnya. “Sampai jumpa lagi, Luna. Senang berkenalan denganmu!”

Aku tersenyum. “Senang berkenalan denganmu juga, Ramz.”

Maka, kami pun pergi ke arah yang berbeda. Aku ke barat menuju Petalburg, sementara ia lurus ke utara menuju Oldale. Beberapa langkah berjalan, aku berbalik dan menatap anak itu sekali lagi. Ia dan Torchic-nya berlari dengan riang, sampai akhirnya pandanganku tertutup oleh lebatnya pepohonan dan mereka tidak terlihat lagi.

No comments:

Post a Comment