Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Monday, November 22, 2010

Chapter Spesial #1 - Penerus


Cerita ini mengambil tempat di kediaman Luna, sehari setelah ia terbangun dari pertarungannya melawan Giovanni.

 

Pagi yang cerah. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamarku, terasa sedikit menyengat di kulit kakiku yang telanjang. Hari itu aku agak ogah bangun, karena badanku masih sakit-sakit semua. Tapi karena perutku sudah minta diisi, mau tidak mau aku pun bangkit dari tempat tidurku.

Setelah membereskan kamar dan mandi, aku segera turun ke lantai bawah. Tapi di sana aku hanya mendapati seorang gadis berambut hitam sepanjang dada yang sedang cengar-cengir sambil menikmati sepotong roti bakar di meja makan. Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencerna makna pemandangan di depanku. Aiih, aku sampai lupa kalau Sunny masih menginap di rumahku!

“Baru bangun tidur, Tuan Putri?” ledeknya saat aku hendak duduk di sampingnya. Aku tidak menjawab, malah langsung menyambar roti bakar yang tersisa di atas meja. “Uh, yang lain mana?” tanyaku tak acuh.

“Ayahmu mesti kembali bertugas di Liga Johto. Ibumu pergi ke Kota Vermillion—entah untuk apa. Sedangkan kakakmu... uh, dia tidak bilang mau ke mana.”

“Eeh? Mereka semua pergi? Lalu siapa yang menjaga Gym?” tanyaku dengan mulut penuh roti bakar. Sunny mengangkat bahunya. “Aku juga tidak tahu... Mereka tidak bilang apa-apa.”

Aku mendesah panjang. “Sial, pokoknya kalau ada penantang mau aku usir saja!” umpatku kesal. Jujur saja aku tidak suka diberi tugas mendadak begini. Padahal sudah sejak semalam aku berencana menghabiskan waktuku bermain di Zona Safari dengan para Pokemon. Aku pun menandaskan roti bakarku dan segera menarik tangan Sunny.

“Eeh, mau ke mana?” tanyanya bingung.

“Ngecek Gym,” sahutku singkat.

***

Sudah kuduga, ruangan Gym kosong melompong ketika aku dan Sunny masuk ke dalamnya. Sebenarnya, aku tak suka berada di dalam Gym. Interiornya yang berwarna pink-ungu membuatku sakit mata. Aku sampai heran kenapa Ayah dan Kak Janine malah suka berlatih di dalamnya. Aku pun masuk ke dalam ruangan Pimpinan Gym, dan kuambil jurnal berisi daftar nama penantang Gym.

“Aah, bagus, hari ini tak ada penantang,” desahku lega. Yeah! Itu berarti aku bisa puas bermain! Kukembalikan jurnal itu ke tempatnya. Namun, saat aku dan Sunny hendak melangkah keluar, kami malah berpapasan dengan seorang laki-laki berambut agak jabrik dan berpakaian gelap. Sekilas tampangnya agak sangar.

“Maaf, apa benar ini Gym yang dikelola Kouga?” tanya orang itu, yang kutaksir usianya tak jauh lebih tua dariku. Aku mengernyitkan dahi. Siapa ya orang ini? “Ya, benar, tapi dia sedang pergi sekarang,” sahutku cepat.

“Yaaaah, sayang sekali, padahal aku ingin melawannya selagi berada di sini,” gerutunya sambil garuk-garuk kepala. Kemudian ia menatapku dan Sunny bergantian. “Kalian sendiri siapa?”

“Aku Luna, putri Kouga, dan dia Sunny, temanku,” jawabku. Laki-laki itu manggut-manggut, menatap kami bergantian sekali lagi, lalu senyumnya mengembang. “Ah, aku tahu kalian. Kalian yang menghentikan rencana Tim Roket itu, bukan? Bagaimana kalau sebagai ganti Kouga, salah satu dari kalian melawanku?”

Aku melongo. Begitu pula dengan Sunny. Yang benar saja! “Eeh, maaf, tapi hari ini kami tidak melayani penantang!” jawab Sunny agak kesal. Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya. Kami sudah nggak sabar ingin main di Zona Safari! Tapi laki-laki itu malah terkekeh. “Ayolah, tidak apa-apa, ini bukan pertandingan serius kok,” bujuknya. “Lagipula, kurasa kelak kalian takkan menyesal bertemu denganku.”

Alisku bertautan. Ngomong apa orang ini? Aah, tapi sudahlah, toh dia bilang ini bukan pertandingan serius. Maka aku pun maju—karena Sunny ogah bertarung. Karena keterbatasan Pokemon yang ada di tanganku—aku hanya punya Latte, Basher dan Ness bersamaku—kami pun memutuskan untuk melakukan pertarungan 3 lawan 3 di halaman depan Gym. Kukeluarkan Basher sebagai Pokemon pertamaku. Ia sendiri mengeluarkan sesosok Scizor.

“Tapi sebelum itu, apa tidak lebih baik kau memperkenalkan diri dulu?” tanyaku dengan nada sedikit menantang untuk menyembunyikan rasa gugupku. Jujur saja, orang ini... memiliki aura yang sangat kuat, membuatku pesimis bisa mengalahkannya. Ia tertawa. “Aah, maaf maaf... namaku... Reiji Ozora! Dari Kota Blackthorn!”

Reiji Ozora? Hei, rasanya aku pernah mendengar nama itu...

“Scizor, Bullet Punch!” perintah Reiji cepat. Dengan tangkas Scizor mengarahkan ‘capit’-nya yang sekeras baja ke arah Basher. “Menghindar!” seruku. Basher berhasil menghindarinya. Uff, nyaris saja! “Hahaha, kau lengah tadi!”

“Maaf, maaf, aku akan lebih serius,” dengusku. “Basher, Bonemerang!”

“Scizor, Bullet Punch!”

Pukulan Scizor kembali melayang deras ke arah Basher, namun tongkat tulang Basher berhasil menghalaunya. Pokemon besi berwarna merah itu nampak kesakitan. “Sekali lagi!” seruku bersemangat. Dengan tangkas Basher menangkap kembali tongkat tulangnya dan melemparkannya ke arah Scizor sebelum ia sempat menyerang. Tongkat itu mengenai kepala Scizor dengan telak, menyebabkan Pokemon malang itu jatuh pingsan.

“Hmm, lumayan lah,” gumam Reiji sambil memasukkan Scizor ke dalam Pokeball-nya. “Sekarang giliranmu! Charizard!”

Mendadak keluar seekor Charizard aneh berwarna hitam. Aku menelan ludah sesaat. Dia terlihat kuat. Reiji tersenyum kecil melihat perubahan ekspresiku. Argh, tapi aku tak boleh kalah sekarang! “Basher, gunakan Bonemerang lagi!”

Basher melemparkan tulangnya, mengarah tepat ke kepala si Charizard hitam. Namun dengan secepat kilat Charizard itu menghindar dengan terbang ke angkasa dan menyemburkan api super besar dari mulutnya. Marowak itu pun jatuh pingsan dengan tubuh gosong.

“Cara yang sama takkan bisa mengalahkanku dua kali,” gumam Reiji dengan senyum penuh kemenangan. Aku cuma membalas dengan senyum kecut sambil mengembalikan Basher ke dalam bola monsternya. Dengan pertimbangan keuntungan tipe, aku pun mengeluarkan Ness. Pokemon biru itu bertipe air, jadi pasti bisa mengalahkan Charizard milik Reiji dengan mudah.

“Hah, Lapras?” tanya Reiji dengan wajah terkejut yang dibuat-buat. Aku tak menggubrisnya. “Kau tahu... Keuntungan tipe tidak serta-merta bisa membuatmu mengalahkan Charizard-ku!”

Lagi-lagi aku cuma diam. Aku tahu, orang ini memang belum mengeluarkan semua yang ia punya. Tapi aura yang dimilikinya membuatku merinding. Aku merasa orang ini benar-benar berpengalaman dalam pertarungan Pokemon. Tapi aku tak ingin kalah cuma gara-gara takut. “Ness, gunakan Tarian Hujan!”

Mendadak langit berubah mendung. Titik-titik hujan pun turun seiring dengan Ness yang melakukan jurus Tarian Hujan. Sunny yang sedari tadi duduk menonton di pinggir halaman berlari masuk ke dalam rumah sambil menggerutu karena kebasahan. Hmm, peduli amat sama anak satu itu. Kulihat Reiji mendongak ke arah langit. “Wah, jurus Tarian Hujan, ya? Lumayan juga,” gumamnya. “Kalau begitu, akan kubalas juga... Dengan tarian! Charizard, Tarian Naga!”

Kulihat si Charizard Hitam melakukan gerakan-gerakan aneh di udara. Mendadak kecepatan gerakannya bertambah. “Ness, tembak ia dengan Hydro Pump!” seruku. BRUUUUSHH!! Ness menembakkan air berkekuatan tinggi dari mulutnya. Namun dengan gesit serangan itu dihindari Charizard. Malahan, ia kembali melakukan Tarian Naga-nya. Kecepatannya pun semakin bertambah saja.

“Sekarang! Gunakan jurus Ekor Naga!” seru Reiji penuh semangat. Dengan kecepatan yang nyaris tak tertangkap mata, Charizard Hitam melesat menuju ke arah Ness dan dengan sepakan ekornya ia menyentak Pokemon air yang tubuhnya sedikit lebih besar darinya itu. Ness yang tidak siap dengan serangan itu langsung terlempar jauh dan pingsan.

“Ness!” teriakku panik sambil menghampirinya. Sepakan ekor Charizard tadi sepertinya sangat keras, sampai-sampai bisa melontarkan Ness sejauh itu. Tapi... aku belum pernah melihat jurus seperti itu sebelumnya...

Hujan yang ‘dipanggil’ Ness sudah berhenti turun ketika aku mengeluarkan Pokemon terakhirku, Latte. Reiji juga memasukkan kembali Charizard hitamnya, dan kemudian kembali mengeluarkan seekor Pokemon naga berwarna biru dengan sayap merah, yang kukenali bernama Salamence.

“Nah, kurasa pertarungan ini harus berakhir di sini,” ujar Reiji dengan penuh percaya diri. Aku hanya bisa menelan ludah. Baru sekali ini aku melihat Salamence secara langsung, dan... Salamence itu ternyata besar sekali! Naga biru itu mengaum dengan ganasnya, membuatku dan Latte merasa terintimidasi. Yup, bukankah itu kemampuan khusus yang dimilikinya? Aku baru tahu kalau ternyata kemampuan itu dapat berimbas pada manusia. Kurasa aku memang tak bisa mengalahkan orang ini...

Hei, gadis bodoh, aku bisa mengalahkannya untukmu kalau kau mau.

Aku tersentak. Suara siapa itu?! Kutoleh ke berbagai arah, tapi tak ada siapa pun. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, batinku. Maka aku pun kembali berkonsentrasi pada pertarunganku yang sudah hampir berakhir. “Latte, gunakan Serangan Langit!”

“Percuma saja! Salamence, gunakan Meteor Draco!”

Tubuh Latte yang melesat ke angkasa diselubungi cahaya menyilaukan. Tapi... apa itu? Salamence ikut membubung ke langit, dan dari mulutnya ia menembakkan bola-bola api serupa meteor. Bola-bola meteor itu menghantam keras tubuh Latte, membuatnya jatuh terkapar ke tanah. Segera kumasukkan ia ke dalam Pokeball. “Trims, Latte, kau sudah berbuat sebisamu,” bisikku padanya.

Good game,” ujar Reiji sembari menjabat tanganku. Aku mengangguk. “Anda sendiri memang hebat seperti yang diberitakan, Tuan Reiji Ozora,” sahutku sambil nyengir. Ia tampak terkejut. “Ah, akhirnya kau mengenali siapa aku?”

“Yeah, siapa yang tak kenal dengan penerus Dragon’s Den? Yah, meskipun aku agak terlambat menyadarinya,” gelakku. Yup, Reiji Ozora ini adalah penerus dari kuil naga terkenal Dragon’s Den yang terletak di Kota Blackthorn, kota yang memang terkenal sebagai tempat lahirnya pelatih-pelatih Pokemon Naga terbaik.

Sejurus kemudian, Reiji mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah telur Pokemon! “Nah, aku ingin kau menerima ini sebagai hadiah kenang-kenangan dariku,” katanya kalem sambil menyerahkan telur itu padaku. Wow, telur ini besar... dan keras! “Uh, terima kasih banyak, Tuan Reiji.”

“Waduh, tidak usah memanggilku dengan sebutan begitu. Umur kita tidak beda jauh kok, panggil Kakak saja,” pintanya. Aku hanya mengangguk. “Ngomong-ngomong, ini telur apa, ya?” tanyaku keheranan.

“Telur ini berisi salah satu Pokemon Naga yang cukup langka. Kebetulan saja aku menemukannya dalam perjalanan kemari, sepertinya ia ditinggal oleh induknya,” jelas Kak Reiji. “Tapi... telur itu lama sekali menetasnya. Mungkin butuh bertahun-tahun.”

Aku menelan ludah. Bertahun-tahun? Yang benar saja, pikirku gemas. Tapi lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kurasa tidak ada salahnya sih, menyimpan telur ini. Tapi bertahun-tahun? Uh, mungkin aku tak punya cukup kesabaran untuk menunggu sebegitu lamanya.

“Baiklah, sekarang aku harus pergi. Senang bertemu denganmu, Luna!” seru Kak Reiji yang tahu-tahu sudah berada di punggung Salamence-nya. Belum sempat aku membalas salamnya, Pokemon Naga biru itu sudah melesat dan segera menghilang di langit. Ah.

“Sunny! Lihat aku dapat apa!” seruku sambil berlari ke dalam rumah. Hmm, pertarungan hari ini harus kuceritakan ke ayah, ibu dan kakak, batinku sambil tersenyum.

***

Sementara itu, di suatu tempat yang jauh dari daratan Kanto...

BLAAAM!!!

Terdengar suara pintu dibanting keras. Seorang pria setengah baya nampak terengah-engah sambil memegangi gagang pintu yang dibantingnya barusan itu. Dengan wajah yang gusar, ia menghambur ke meja penuh tumpukan kertas di hadapannya. “Sial! Pergi ke mana mereka itu?!” tanyanya marah pada dirinya sendiri.

Kemudian, dengan kasar, pria itu menarik sebuah arsip. Dari dalamnya berhamburan kertas-kertas yang berisikan foto dan data diri beberapa bocah belasan tahun. Setelah mencari-cari di antara tumpukan kertas itu, sepertinya si pria setengah baya menemukan apa yang dicarinya. Data diri seorang remaja laki-laki. Melihat kertas di tangannya itu, si pria tertawa bengis.

“Aah, yaa yaa, tentu saja kau biang keladi dari semua kejadian ini, bukan?” dengusnya. “Tapi, di mana pun kalian berada sekarang, kalian tidak akan bisa menghindari kenyataan... Bahwa jiwa kalian sudah menghitam...”

No comments:

Post a Comment