Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Sunday, March 25, 2012

Bagian 51 - Salju di Hoenn

Chisa benar-benar bersemangat ketika aku memberitahukannya soal persetujuan Rei tadi. “Okeee!! Besok kita ketemu di perbatasan kota, yaaa!” serunya bersemangat ketika malam itu kami berbincang via PokeNav. Aku tertawa kecil mendengar antusiasmenya. “Ya... oh, ngomong-ngomong, tadi kamu ke mana saja, sih?”

“Umm... aku ketemu teman—yah, kamu bisa bilang begitu lahh... dan aku membantunya di stand Berry...” ujarnya. “Hmm? Teman?” tanyaku. “Aku tidak tahu kau punya kenalan di sini.”

“Uh, yah, kami baru kenalan beberapa waktu yang lalu, sih... dia membantuku ketika aku kembali ke Fallarbor,” terang Chisa. Aku manggut-manggut. “Hmm, kalau begitu, pastikan kamu sudah siap besok pagi, ya! Selamat malam!”
“Selamat malam, Luna!”

***

Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya ketika kami bertiga berkumpul di perbatasan Kota Fallarbor-Rute 113. Sisa-sisa festival kemarin masih berserakan di mana-mana, dan kelihatannya sungguh berantakan. Namun, beberapa orang tampak mulai bekerja membersihkannya.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami segera berjalan menuju Kota Mauville. “Uh, tidak terbang saja?” tanya Chisa. Rei menggeleng. “Terlalu menarik perhatian,” sahutnya tegas. “Lagipula Moe tidak akan kuat membawa 3 orang dalam waktu terlalu lama, bahkan meski dia mengambil bentuk Pokemon Legenda sekalipun.”

“Yeah,” sahutku sambil melirik ke arah Moe yang bertengger di bahuku dengan ceria. “Huh, nanti siang saja kau pasti sudah kepanasan,” gumamku sambil tersenyum.

Menjelang siang, barulah kami sampai di Kota Mauville. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.


“Huah... Hoenn panas sekali...” keluhku sambil bersandar di sofa di kafetaria Pokemon Center. Untung saja tempat itu full AC, kalau tidak aku pasti sudah meleleh seperti jeli sekarang... Ngomong-ngomong soal jeli, Moe benar-benar terlihat seperti jeli kepanasan karena cuaca ini. “Kamu masuk Poke Ball saja, deh,” ucapku padanya. Kadang-kadang merepotkan juga kalau Pokemon suka keluar sendiri.

“Di Kanto tidak sepanas ini, ya?” tanya Chisa sambil menyeruput jus Sitrus Berry-nya. Aku menggeleng. “Panas sih panas, tapi tidak sepanas ini...” gumamku. Kemudian, Rei datang membawa tiga buah kotak di tangannya. “Ayo cepat makan, kita tidak punya waktu untuk dihabiskan di sini,” tegurnya sambil membagikan kotak-kotak yang ternyata di dalamnya ada sandwich dengan bermacam-macam isian. Makanan praktis ala Ranger, keluhku. Tapi toh aku rasanya tidak jelek, jadi kumakan saja. Chisa sepertinya baru pertama kali melihat sandwich seperti itu, jadi dia menatapnya dulu dengan heran sebelum memakannya dengan lahap.

Satu jam kemudian, kami segera melanjutkan perjalanan ke Rute 119. Di sana rumput tumbuh dengan tingginya, sehingga kami harus berjalan hat-hati agar tidak terpisah. Menjelang sore, kami baru menempuh separuhnya dan memutuskan untuk mendirikan tenda. Chisa tampak sangat bersemangat, mungkin karena ini adalah pertama kalinya ia berkemah di alam liar. Buatku juga, karena selama ini aku hanya menerima tugas Ranger dalam kota dan tidak pernah diharuskan bermalam di tempat terbuka. Sebaliknya, Rei, seperti biasa selalu tampak tenang dan terampil, bahkan dengan kaki pincang. “Kau Ranger tapi belum pernah berkemah? Memalukan,” begitu komentarnya ketika aku mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamaku. Sial, mestinya aku tidak usah bilang begitu di hadapannya!

Malam itu berlangsung singkat tanpa banyak kejadian menarik. Chisa menunjukkan pada kami Shelgon yang didapatnya di Gua Meteor Jatuh, yang dinamainya Grance. Kami juga sedikit melatih Pokemon-Pokemon kami, karena besar kemungkinan kami akan melawan satu atau dua anggota Ranger Bayangan lainnya. Setelah hari semakin larut, kami pun memutuskan untuk tidur. Rei tidur sendiri—tidak juga sih, dia selalu bersama Vance, Linoonenya—sementara aku dan Chisa di tenda yang sama.

“Hei, Chisa,” panggilku. Aku belum bisa tidur, jadi aku hanya bergerak-gerak gelisah di dalam tenda yang diterangi sinar lampu redup.

Chisa menoleh. “Hmm? Ada apa?” tanyanya.

“Apa kamu yakin kamu tidak apa-apa ikut dengan kami?” tanyaku pelan. “Maksudku, kau bisa saja melakukan perjalanan sendiri... dan mungkin tidak akan diganggu oleh Ranger Bayangan itu.”

Chisa mengambil posisi menelungkup, matanya menatap serius ke arahku. “Harus kubilang berapa kali? Aku sama sekali tidak keberatan,” ujarnya sungguh-sungguh. “Pergi bersama-sama tentu lebih menyenangkan daripada sendirian... Lagipula...” ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu, seolah berpikir. “Heheh... Aku memang pelatih yang kurang berpengalaman, jadi kurasa, pergi bersama kalian akan banyak membantuku... Begitu...”

Aku manggut-manggut. Sejenak aku teringat pengalamanku ketika memulai petualanganku di Kanto, 3 tahun lalu. Aku mengalami hal-hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya... Petualangan yang menyenangkan, andai saja tidak berakhir dengan buruk. “Kau tahu,” gumamku. “Terkadang kita akan mendapati diri kita berada dalam situasi yang sangat tidak diinginkan...”

“Yah, dengan keadaan yang seperti ini, kurasa itu benar,” Chisa menyahut. “Karena itulah aku akan terus berlatih... Aku juga tidak mau kalah dari kau dan Rei!”

Aku tertawa. “Ah, aku ini masih payah, tahu!” ujarku sambil menarik kantong tidurku hingga menutupi leher. Chisa merubah posisinya lagi dan tidur menyamping menghadap ke arahku. “Oh ya, apa nanti kita bisa berhenti di Gunung Pyre? Aku ingin menangkap Misdreavus di sana!” kata Chisa semangat. Aku membalik. “Hah? Memangnya di sana ada Misdreavus, ya?” aku balas bertanya dengan heran. “Setahuku di sana cuma ada Shuppet, Duskull, Vulpix dan Chimecho... Oh ya, bukannya di sana juga ada...”

“Apa?”

“Well,” gumamku. “Aku cuma dengar desas-desus sih... tapi soal Elite Four Hoenn yang meninggal dunia beberapa waktu lalu... apa benar dia tewas di tempat itu?”

Chisa mengerutkan kening. “Entahlah, berita itu masih simpang siur... Banyak yang merahasiakan di mana sebenarnya Nona Spectra meninggal, atau apa penyebabnya,” ujarnya. “Tapi, konon, dulu dia memang tinggal di sana, kurasa begitu...”

“Hii... hati-hati, siapa tahu kau bertemu dengannya nanti di sana!” candaku sebelum menarik selimutku kembali.

***

Pagi berikutnya, kami dikejutkan dengan udara yang begitu dingin menusuk tulang. Padahal, hari sebelumnya daerah Hoenn masih panas bagaikan berada dalam ruangan penuh Magcargo, namun pagi ini... seperti berada di tengah badai salju di puncak Gunung Silver!


Sambil menahan dingin, aku dan Chisa merangkak keluar tenda. Di luar, lapisan tipis kristal-kristal es menutupi rerumputan dan tanah. “Whoa!! Ke-kenapa bisa tiba-tiba seperti ini?” seru Chisa sambil memeluk Blazzy. Aku agak iri dengan dia, karena punya Pokemon Api yang bisa menghangatkannya. “Entahlah... ini aneh...” gumamku.

WHUUU... angin dingin berhembus kencang. “Huwaaa!” aku dan Chisa menjerit kedinginan. Dari arah bertiupnya... Angin ini berasal dari utara, berarti dari arah Kota Fortree. “A-ada yang tidak beres,” ujarku dengan tubuh gemetaran. Jari-jari tanganku mulai mati rasa. Bodoh sekali aku lupa memakai jaket!

“Uhh... Rei mana?” seru Chisa panik. Baru saja aku hendak mencari Rei di tendanya, tiba-tiba terdengar gemuruh lainnya. Kali ini dari semak-semak. Mendadak, seekor Tropius melesat dari rerumputan tinggi, menantang angin dingin, menuju utara. Bukan itu saja, di punggungnya ada sesosok manusia. Rei!

No comments:

Post a Comment