Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Monday, March 19, 2012

Bagian 50 - Kembang Api

Aaah... Enak sekali berbaring di atas ranjang yang empuk setelah pekerjaan berat hari ini. Sepertinya begitu juga yang dirasakan Pokemon-Pokemonku, karena mereka semua keluar dari Pokeballnya dan malah tidur di atas ranjangku. Kecuali Rift, dia tidur di atas karpet dekat ranjang. Aku tidak pernah mengizinkannya tidur di atas ranjangku, karena badannya begitu besar dan membuatku kehabisan tempat.

Sambil mengelus tangan kiriku yang diperban, aku merenungkan kembali apa saja yang terjadi hari ini. Nyaris saja gagal, begitu komentar Kak Spenser ketika aku melaporkan padanya. Yah, memang tidak salah sih... Kami benar-benar lengah sehingga membahayakan diri sendiri. Aku juga sedikit lega, karena luka di kaki Rei tidak begitu parah. Aku jadi curiga kenapa dia pakai acara pingsan segala...

TOK TOK TOK! Lamunanku buyar ketika kudengar suara pintu kamarku diketuk. Dengan malas aku bangkit dan membuka pintu... hanya untuk melihat satu wajah yang sedang tidak ingin kulihat.

“Oi.”

Aku hendak menutup kembali pintuku, namun Rei mencegahnya. “Mhh... Mau apa kau?” tanyaku dengan nada dingin dan malas. Serius, diganggu olehnya saat aku hendak istirahat adalah hal terakhir yang kuinginkan.

“Uh, begini...” Rei terdiam sambil menggaruk kepalanya. Masih memegangi daun pintu, aku menunggunya menyelesaikan kalimatnya dengan menahan kantuk. “Cewek itu, eh, Chisa, mana?”

“Dia di penginapan lain. Kalau kamu mau cari dia, jangan ganggu aku!” balasku sewot sambil menutup pintu. Tapi lagi-lagi Rei mencegahnya. “Uh, aku tidak ingin mencari Chisa... tapi...”

“Tapi apa?!”

Rei menghela napas. “Festival Bulan sebentar lagi mulai. Mau jalan-jalan?”

***

Ada angin apa sih ini? Tiba-tiba saja Rei mengajakku... jalan-jalan!?

Well, meski rasanya sulit dipercaya... tapi di sinilah aku, berjalan dengan canggung di samping Rei, menelusuri kios-kios berhias yang memenuhi seisi kota Fallarbor. Matahari baru saja terbenam, namun suasana sudah begitu meriah. Lampion warna-warni dipasang di seluruh sudut, bau sedap makanan memenuhi udara. Dalam waktu singkat, semua penduduk sudah meninggalkan rumahnya dan berbaur dalam festival.

Sementara itu, Rei masih terus berjalan tanpa memedulikanku sama sekali. Aku jadi penasaran, sebenarnya mau apa dia tiba-tiba mengajakku begini?

Setelah beberapa saat berjalan, kami melewati sebuah stand yang cukup ramai. Rupanya itu stand yang menyediakan permainan menembak boneka Psyduck. Bagi yang bisa menembak habis semua boneka Psyduck plastik yang dijejerkan, bisa mendapatkan hadiah boneka. Hmm, sepertinya seru! “Hei, Rei, aku ke sana dulu ya!” kataku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berlari ke arah stand. Kulihat beberapa boneka besar dipajang di dinding stand. Ada boneka Azurill, Pichu, Sandshrew... bahkan boneka berbentuk Kyogre dan Lugia berukuran raksasa pun ada!

“Nona mau mencoba?” tanya bapak-bapak penjaga stand padaku. Aku mengangguk dan menyerahkan selembar uang. Bapak-bapak itu pun memberikanku sebuah pistol mainan plus selusin amunisi plastik. Segera saja aku berancang-ancang menembak boneka-boneka Psyduck malang yang berjejer di meja seberang. DOR! Kena satu! Sambil sumringah, aku mencoba lagi. DOR! “Cih, meleset,” gumamku kesal. Kucoba lagi, lagi, dan lagi... Meleset semua! Yang benar saja... tinggal 3 amunisi lagi, kalau ini semua juga meleset...

“Payah kamu,” gumam sebuah suara dingin di belakangku. Tahu-tahu saja, Rei sudah menyambar pistol plastik dari tanganku, dan mengarahkannya ke boneka-boneka Psyduck. DOR DOR DOR! Tanpa jeda, ia menembaki boneka-boneka itu. Tidak ada yang meleset!

“Terima kasih sudah bermain!” kata si bapak-bapak penjaga stand sambil menyerahkan hadiah. Sepasang gantungan untuk gadget berbentuk Plusle dan Minun. Ugh, padahal aku mengincar boneka Kyogre raksasa...

“Mau main lagi?” tanya Rei, seolah bisa membaca kekecewaanku. Aku buru-buru menggeleng. “Eh, nggak usah, ini saja tidak apa-apa, kok!” sahutku cepat. Kemudian, kuambil gantungan berbentuk Minun dan kuserahkan padanya.

“Untuk apa ini?” tanya Rei dengan cuek. “Kau kan yang sudah membantuku tadi! Anggap saja ini tanda terima kasih!” balasku agak sebal. Mau apapun yang dia lakukan, sikap cueknya itu benar-benar tidak berubah. Dengan tatapan meremehkan, ia mengambil gantungan itu dan menatapnya. “Mestinya aku dapat lebih. Aku menembak tiga, kau cuma satu.”

“Tapi yang bayar kan akuuu! Dasar!” teriakku kesal. Mestinya dia tidak usah kukasih saja!

Kami pun melanjutkan jalan-jalan kami. Jarang ada percakapan di antara kami, membuatku agak canggung. Namun, setiap kali aku berhenti untuk membeli makanan atau minuman yang dijajakan di festival itu, dia tidak pernah membentak-bentakku. Beda sekali dengan sebelumnya. Jika aku dan Chisa lelet sedikit saja, dia pasti sudah meledak-ledak.

Tak terasa, sudah beberapa jam berlalu. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang bersahut-sahutan, diikuti pendaran cahaya warna-warni. Aku menengok ke langit. Benar saja, kembang api!


“Waah! Ada pesta kembang apinya juga, ya?” tanyaku kagum. Rei tidak menjawab, namun turut memandangi bunga-bunga cahaya beraneka warna yang menghiasi langit malam yang gelap. Ditambah dengan bulan purnama yang ‘bertengger’ tepat di puncak Gunung Chimney, panorama malam ini sungguh indah! Kira-kira, Chisa di mana ya? Aku harap dia tidak ketiduran di penginapannya dan melewatkan semua ini.

“Luna, sini,” panggil Rei, kemudian berjalan menembus kerumunan orang-orang yang terbius keindahan kembang api. Aku terpaksa menurut saja, soalnya aku tidak mau nyasar di tengah lautan manusia begini. Tapi, mau ke mana lagi dia mengajakku?

Ia masih terus berjalan, bahkan menaiki bukit-bukit batu yang ada di utara kota. Meski jalannya terpincang-pincang, namun ia masih saja kuat mendaki bukit-bukit batu itu. “Hoi, mau ke mana sih kita?” tanyaku tidak sabar. “Sedikit lagi, jangan manja,” sahutnya ketus. Akhirnya, kami sampai juga di puncak bukit itu.

“Nah, sekarang lihat,” kata Rei.

Menakjubkan! Dari ketinggian bukit, kami bisa melihat semuanya. Kota Fallarbor yang terang dihiasi lampion, kembang api, bulan purnama, dan siluet Gunung Chimney yang gagah. “Kereeen...” gumamku terpana.

“Memangnya kamu tidak pernah lihat yang begini?” tanya Rei sambil duduk bersila di atas tanah. Aku ikut duduk di sampingnya. “Pernah, sih, di Kota Fuchsia dan Kota Ring, tapi pesta kembang api di sini tak kalah indah,” ujarku. “Uhm, makasih ya, sudah mengajakku ke sini.”

“Yeah, sudah seharusnya,” Rei membalas, tetap cuek dan dingin seperti biasanya. Aku tertawa kecil. Terkadang, ia bisa juga jadi orang baik.

“Oh, ya,” Rei berkata. “Besok kita mulai berangkat ke Mossdeep,” ujarnya.  “Eeh? Besok?” tanyaku. Rei mengangguk. “Kakimu sudah tidak apa-apa?” aku bertanya lagi. “Tidak usah memikirkanku, aku tidak apa-apa,” sahutnya tanpa menoleh.

“Oh ya, soal Chisa...”

“Apa?”

“Dia boleh ikut? Boleh, ya?” pintaku.

Rei mendelik. “Lagi?” gerutunya. “Anak itu memperlambat saja.”

“Heeei, dia sudah menyelamatkanmu tadi!” protesku. “Kurasa lebih baik bertiga daripada cuma berdua. Lagipula, tujuan kita searah dengannya.”

Lama aku menunggu jawabannya. Akhirnya, cowok itu mendesah. “Baiklah... Tapi kalau dia memperlambat, aku tinggal kalian berdua!” ancamnya galak. “Oke! Siapa takut!” seruku bersemangat. Aku kembali menikmati pemandangan kembang api. Kurasa, perjalanan kali ini tidak kalah menyenangkannya dengan perjalananku sebelumnya!

No comments:

Post a Comment