Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Saturday, April 9, 2011

Bagian 34 - Pertemuan Kedua

Paginya kami sampai di Kota Dewford. Awalnya aku tak ingin membuang-buang waktu untuk menantang Gym kota tersebut, tapi sayangnya ketika kudatangi, Gym itu tutup! Pengurus Gym bilang kalau Brawly, sang Ketua Gym, sedang pergi berlatih di Gunung Mortar yang terletak di wilayah Johto.

Mau tak mau aku pun harus mengurungkan niatku menantang Gym itu. Aku, Moe, Sora dan Rift pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sana. Cukup lama kami berjalan sampai akhirnya kami memasuki sebuah gua. Di mulut gua terdapat papan nama yang sudah usang, tulisannya: “Gua Granit”.

“Uuuh...” aku bergumam tak karuan. Sebenarnya, semenjak insiden di Gua Cerulean, aku agak takut kalau masuk gua. Kemudian kupandang satu persatu Pokemonku. “Mau masuk?”

Mereka semua mengangguk dengan semangat—kecuali Rift tentu saja. Kunyalakan senter baruku dan melihat keadaan sekitar. Hmm, di sini memang sangat gelap.

Cukup lama kami semua berjalan. Kami menemui beberapa Pokemon yang belum pernah kulihat secara langsung sebelumnya, misalnya Nosepass, seperti yang pernah dipakai Roxanne ketika melawanku, dan Pokemon besi lucu bernama Aron. Ketika sedang asyik kami berjalan di dalam gua, tiba-tiba tanah tempatku berpijak bergetar.

“Waah!” seruku. Dengan cepat aku memasukkan Pokemon-ku ke dalam Pokeball-nya. Aku tak mau hal yang menimpa Haze terulang lagi. Beberapa bongkah batu besar berjatuhan dari langit-langit gua. Kuakui aku sangat takut dan panik, tapi aku tak mau mengorbankan teman-temanku!

Mendadak tanah tempatku berpijak luruh. Aku pun terjatuh semakin ke bawah. Kupejamkan mataku erat-erat. Getarannya sudah berhenti, dan syukurlah aku tak mendapat luka yang berarti. Kukeluarkan lagi Moe, Sora dan Rift dari Pokeball-nya. Mereka tampak khawatir denganku. “Tidak apa-apa,” ujarku. “Sekarang bagaimana caranya kita keluar dari sini?”

Tiba-tiba terdengar suara erangan tak jauh dari tempatku berada. Buru-buru kucari asal suara itu. Aku agak kaget ketika melihat sepotong tangan melambai-lambai dari balik reruntuhan batu. “Urrghh...” Suara erangan itu ternyata muncul dari tangan itu!

Aku dibantu oleh Sora dan Moe menyingkirkan batu yang menimpa “tangan” tersebut. Setelah beberapa batu besar disingkirkan, barulah akhirnya ia berhasil keluar sendiri.

“Oh... Steven Stone?” pekikku tertahan. Rupanya orang yang terperangkap itu tak lain adalah Steven yang pernah kutemui dulu di Kota Pewter! Ia tersenyum melihatku. “Haha, kita bertemu lagi! Kali ini aku berhutang budi padamu,” ujarnya sambil membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya. “Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?”

“Ah... aku cuma jalan-jalan,” jawabku. “Kau sendiri?”

Steven bangkit berdiri dan mulai berjalan. “Aku mencari bebatuan langka! Kudengar di sini ada banyak,” sahutnya. Suaranya terdengar bersemangat. “Oh ya, kudengar kau sudah jadi Ranger sekarang?”

“Tahu dari mana?”

“Ayahku! Kau yang membantu salah satu pegawai perusahaan kami, kan?”

Wah! Jadi ternyata... Tuan Stone itu ayahnya Steven? Bodohnya, kenapa aku tak menyadarinya? Mereka kan punya nama yang sama. Steven kembali tersenyum padaku, membuatku gugup. “Eeh, itu bukan apa-apa, kok!” elakku. Laki-laki berambut kelabu itu menggeleng. “Tidak, koper itu isinya sangat penting! Tentu saja kami sangat berterima kasih,” Steven menambahkan.

Kami pun berjalan sambil mencari pintu keluar. Di sepanjang jalan, Steven menceritakan padaku soal kekagumannya pada bebatuan langka dan fosil. Ia juga memperlihatkan keanekaragaman bebatuan yang terdapat di Gua Granit. Saat sedang berjalan, aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangku.

“Ada apa?” tanya Steven ketika melihatku menoleh. Mendadak bulu kudukku merinding. Ada yang tidak beres! “Hey, apa kau tidak merasakan sesuatu?” tanyaku. SYUUT! Kali ini lebih jelas lagi, ada sesuatu yang bergerak di belakang kami! Steven mengambil sebuah Pokeball dan mengeluarkan Pokemon yang tak kukenali. Sorot matanya yang tadinya ramah berubah jadi tajam memperhatikan keadaan sekitar. Tak salah ia disebut-sebut sebagai salah satu Trainer terkuat di Hoenn.

SYUUTT!! Seberkas bayangan lainnya menyelinap di belakang kami. “Lairon, gunakan Kepala Besi!” seru Steven pada Pokemonnya yang ternyata bernama Lairon. Lairon menyeruduk bayangan itu dengan kepalanya. Awalnya kukira itu percuma, tapi ternyata tidak. Sebuah sosok berwarna ungu gelap muncul dari bayangan yang diseruduk Lairon. Sosok yang aneh, tubuhnya bertabur bermacam permata. Sosok itu mendadak rubuh, mungkin karena serudukan Lairon. “Apa itu?” tanyaku.

“Itu adalah Pokemon Hantu Sableye, biasanya mereka memang berada di dalam gua seperti ini,” jelas Steven. Hah, Pokemon Hantu! Pantas saja, batinku. Segera saja kusiagakan Sora, Moe dan Rift untuk menyerang mereka. SYUUTT! Satu Sableye yang menyelinap di belakangku berhasil ditumbangkan oleh pukulan berapi Sora.

“Sial! Mereka ada berapa?” gerutuku. Dari setiap bayangan kami, selalu saja bermunculan Sableye-Sableye lainnya, seperti tak ada habis-habisnya. Tiba-tiba segerombol batu besar berjatuhan tepat di atas kami. Kejadian yang sangat cepat membuatku tak bisa menghindar. “Luna, awas!” seru Steven. BRUKK!! Ia mendorong tubuhku cukup jauh. Uuh, itu pasti perbuatan para Sableye! “Moe, gunakan Nyanyian Kematian!”

Moe seketika berubah menjadi Ness—Lapras yang dulu pernah kumiliki—dan dari mulutnya keluar nyanyian yang menyayat. Buru-buru kuhampiri Steven yang terjebak di bawah bebatuan dan menyuruhnya untuk menutup telinga. Perlahan-lahan, para Sableye bergerak mundur dan menghilang.

“Huff... jurus yang bagus,” puji Steven. Dengan dibantu para Pokemon, aku pun menyingkirkan bebatuan yang menimpanya. “Kau bisa bergerak sekarang?”Steven mengangguk, tapi ia tampak meringis ketika menarik kakinya. “Hei, kau tak apa-apa?” tanyaku cemas. Ia menggeleng pelan. “Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya keluar.”

Kemudian Steven menyuruh Lairon-nya untuk menggali. Sayang, bebatuan Gua Granit yang keras bahkan tak memungkinkan bagi cakar besinya untuk menggali. “Tunggu, aku ada ide!” seruku kemudian. “Rift, kau mau kan, menembakkan Tembakan Air-mu ke arah batu-batu itu?”

Rift, yang sedari tadi nyaris tak melakukan apa-apa, hanya diam menatapku. Aku berusaha sabar menghadapinya. “Mau, ya? Kami sangat membutuhkan pertolonganmu!”

Dengan ogah-ogahan, Rift melangkah maju dan mengeluarkan Tembakan Airnya. Kekuatan Tembakan Air milik Rift yang abnormal itu bahkan membuat Steven berdecak kagum. “Baiklah, cukup, Rift!” ujarku. “Sekarang, pasti lebih mudah buat Lairon untuk menggali!”

Benar saja, batu yang sudah dilunakkan Rift dengan airnya lebih mudah untuk ditembus cakar-cakar besi Lairon. Maka, kegiatan itu pun terulang terus. Rift menembakkan airnya, lalu Lairon menggali. Cukup lama sampai akhirnya kami berhasil keluar dari tempat itu. Hufft, setelah ini, aku tidak akan pernah masuk gua lagi!

“Idemu hebat, Luna!” ujar Steven padaku. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. “Sekarang, saatnya kita kembali ke kota!”

No comments:

Post a Comment