Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Sunday, February 26, 2012

Bagian 47 - Temuan Mengejutkan

Seluruh rangkaian kejadian mencengangkan itu membuatku terbengong-bengong. Apa yang salah, sih, dengan hari ini?
Namun suara erangan Rei membuatku kembali tersadar. Ya ampun, perban, perban! Panik karena tak menemukan perban, aku pun melepaskan long sleeve-ku yang sebelah kiri—sudah koyak gara-gara gigitan tadi—dan melilitkannya di kaki Rei. Kurang panjang, kucopot yang sebelah kanan dan kuikat kuat-kuat. Setelah aku cukup yakin, kutinggalkan Rei dalam pengawasan para Pokemon sementara aku menghampiri Pokemon-Pokemon Chisa.
Aku mencari-cari keberadaan Chisa di sekitar tempat ia dan Reef jatuh tadi. Ada beberapa gelembung air dan riak kecil di sungai, sebelum akhirnya sesosok kepala muncul.
“Chisa!” seruku kaget. Segera kuulurkan tanganku dan membantunya kembali naik ke permukaan. Gadis itu terengah-engah dan basah kuyup, begitu juga Idea, Skitty miliknya yang ikut tercebur.

“Chisa, kamu nggak apa-apa, kan?” tanyaku cemas. Yang ditanya hanya mengangguk santai sambil memasang kacamatanya. “Rei...? Tadi aku lihat kakinya berdarah...”
“Dia pingsan, tapi sepertinya masih bernapas,” jawabku asal. “Kau sendiri? Melompat dari tempat setinggi itu, sudah gila, ya?!” omelku. Chisa hanya meringis. “Hehehe, aku cuma berusaha membantu...”
Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu yang kurang. “Hei, mana Reef? Cowok yang tadi jatuh bersamamu itu?” tanyaku. Chisa langsung menoleh ke arah sungai yang beriak-riak kecil. “Ah, ya, itulah yang tadi sempat membuatku kaget,” ujarnya lirih. “Begitu aku ada di air, tahu-tahu dia sudah... tidak ada.”


***
Kata-kata Chisa tentang Reef tadi masih berdengung-dengung di telingaku seperti sekawanan Combee. Dia menghilang... dia menghilang! Apa-apaan itu, coba? Mana ada manusia bisa menghilang seperti itu! Kalau Vaporeon-nya sih, mungkin bisa dimengerti. Aku pernah diajari di Akademi Ranger, kalau beberapa Pokemon punya kemampuan yang cukup unik. Vaporeon, misalnya, mereka bisa ‘melelehkan’ tubuh mereka menjadi air dan sewaktu-waktu kembali lagi ke wujud semula. Reef mana mungkin bisa, kecuali... Oh! Yang benar saja.
“Uugh.” Gumaman pelan Rei menyadarkanku dari lamunanku. Sepertinya cowok itu sudah sadar. Aku berjongkok di sebelahnya sementara Chisa mengeluarkan sebuah toples kecil berisi bubuk—Serbuk Berry, katanya, dan bisa digunakan untuk menyembuhkan luka. Perlahan-lahan balutan darurat-ku dibukanya. Luka itu menganga cukup besar, namun syukurlah aliran darahnya sudah agak berhenti. Sementara itu, luka di tanganku juga sudah diobati dan dibebat kuat-kuat oleh Chisa.
“Siapa sih yang membalut lukaku seperti itu? Berantakan sekali,” Rei berkomentar sambil mencomot sebuah Oran Berry dari tas pinggangnya. Huh! Kumaafkan dia karena sudah menyelamatkanku, tapi apa dia tidak bisa berterima kasih sedikit? Kalau tidak kulakukan itu, pasti dia sudah mati sekarang!
Selesai mengobati, Chisa mengeluarkan perban panjang dari tasnya dan aku membantunya membalut. Kali ini tentu lebih rapi. “Nah, sudah selesai tuh, Tuan Manja,” kataku sinis. Rei tidak menanggapi. “Sudah pergi si jabrik itu?” tanyanya cuek. “Dan gadis ini... huh, kau berhasil kembali juga rupanya.” Rei menatap tajam Chisa. Chisa balas menatapnya dengan pandangan menantang. “Kau meninggalkan Ranger baru itu di tengah kepungan Spinda... Kejam juga, kau tahu.”
“Yah, mau bagaimana lagi?” Chisa menanggapi sambil memeletkan lidah dengan ekspresi jahil.
“Uhh, sudah-sudah... apa kita sebaiknya kembali dulu ke Fallarbor?” tanyaku. Tiba-tiba Rei bangkit berdiri seolah tidak terjadi suatu apa. “Jangan bodoh. Kita belum mendapatkan kepingan meteoritnya.”
“Kamu yang bodoh. Lihat kakimu!” protesku.
“Luka kecil. Tidak usah dipedulikan,” ia menyahut begitu, meskipun kemudian, ia berjalan terpincang-pincang. “Cepatlah! Kalian selambat Shuckle!”
Aku dan Chisa pun buru-buru mengemas barang-barang kami. Benar-benar cowok yang tidak tahu terima kasih!
***
Setelah berjalan beberapa saat, kami sampai di bagian paling belakang Gua Meteor Jatuh. Ada sebuah celah untuk keluar, tepat di atas tumpukan bebatuan yang longsor. Kalau hati-hati memanjatnya, sepertinya kami bisa meraih pintu keluar itu tanpa banyak masalah...
Saat aku hendak mengayunkan langkah pertama, tiba-tiba sesosok Bagon berwarna kehijauan muncul di antara bebatuan dan hendak menyerudukku! Refleks, aku berhasil menghindar. Akibatnya, Bagon itu melesak ke arah bebatuan lain dan kepalanya tersangkut di sana. Aku langsung tertawa melihat adegan lucu itu. Tapi tidak lama, sih, soalnya dia bisa langsung membebaskan diri beberapa detik kemudian dan mendelikku dengan marah sudah karena menertawainya.
Tunggu dulu. Bagon hijau?

“Luna, Rei, kalian pergi saja tanpa aku!” seru Chisa dengan mata berbinar-binar. Oh, ya, dia ‘kan pernah bilang kalau dia sangat menginginkan Salamence. “Semoga beruntung menangkapnya!” aku menyemangatinya sebelum menyusul Rei yang sudah hampir sampai di puncak longsoran batu.
“Akhirnya anak itu mendapatkan buruannya,” ujar Rei saat kami sudah sampai di puncak tumpukan batu itu. Beberapa meter di bawah, Chisa dan ketiga Pokemonnya yang setia sedang mengejar si Bagon shiny yang berusaha melarikan diri. “Benar-benar beruntung, anak itu. Bagon shiny.”
“Iri, ya? Wahahaha!” godaku. Ia malah mendengus acuh. “Iri? Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup dengan Vance saja, aku tidak suka repot memelihara banyak Pokemon,” katanya sambil menatapku dengan nada mengejek. Aku jadi agak tersinggung dengan sikapnya. Ada apa ini? Dia tidak suka dengan Trainer, begitu? “Maaf ya, tapi sekarang aku Ranger, meski penampilanku begini,” aku membalas dengan nada dingin. Tapi Rei tidak menanggapinya.
Begitu melangkah keluar dari celah itu, kami langsung disambut udara segar lautan. Ya, di sebelah timur tidak jauh dari gua ini, terhampar Rute 115 yang sebagian meliputi lautan. Dan di sebelah selatan adalah Kota Rustboro... Membuatku teringat pada Mr. Stone, dan terlebih, anaknya, Steven Stone. Lho? Kok aku jadi mikir ke arah sana?
“Apa nih? Nggak ada apa-apa di sini,” gerutu Rei sambil memandang berkeliling. Benar juga dia. Di sini hanya ada bongkahan batu-batu dengan beragam ukuran. Sama sekali tidak ada yang aneh atau mencolok.
“Oi, Rei,” panggilku. “Di sini ada banyak batu. Kamu tahu yang mana yang mesti diambil?”
Ia mengangkat bahu. “Entahlah, menurutmu meteor itu kayak gimana?”
Aku mendelik kesal ke arahnya. “Jadi... kamu nggak tahu apa yang mesti diambil?!”
“Kamu juga, kan?”
Arrrghh!! Bisa sinting aku gara-gara cowok ini! “Cih, kayaknya si jabrik biru itu sudah mengambilnya!” gerutuku kesal, berbalik menuju Gua Meteor Jatuh untuk kembali ke Fallarbor.
Bodoh. Cari lagi yang teliti!
Saking kagetnya, aku sampai tersentak. Hah! Su... suara siapa itu?! Jantungku berdetak keras. Suara apaan, sih, itu? Bikin takut saja, batinku. Tiba-tiba, sebuah Ultra Ball jatuh menggelinding dari tas pinggangku. “Eh? Lho? Kok bisa jatuh? Tunggu!” aku berseru panik.
Bola itu menggelinding dengan cepat. Aku mulai merasa aneh. Padahal tanah di sini datar, sama sekali tidak melandai... malah sedikit tidak rata. Tapi bagaimana bisa bola itu terus menggelinding secepat itu? Terlebih lagi, bola itu kosong. Aku ingat betul tidak menaruh satu Pokemon pun di dalamnya, apalagi karena aku baru saja membelinya di PokeMart pagi tadi. Dan tidak ada satupun barangku yang jatuh dari tas pinggangku, sebab aku yakin sudah menutupnya rapat-rapat. Aneh...
“Woi, Luna! Ke mana kamu?!” Rei membentakku dari belakang. Rupanya ia berusaha menyusulku, tapi kesulitan bergerak karena kakinya. Aku tidak mau capek-capek menungguinya, karena menurutku ada yang tidak beres dengan bola yang terus menggelinding itu. Setelah cukup jauh, bola itu masuk ke sebuah lubang berdiameter sedang di tanah dan berhenti. Dengan hati-hati dan penuh rasa penasaran, kuulurkan tanganku untuk mengambil Ultra Ball itu. Tapi... hei! Apa itu? Di samping Ultra Ball tersebut, ada sebongkah batu putih penuh dengan rongga dan lubang. Ukurannya sebesar Ultra Ball itu. Alih-alih mengambil Ultra Ball, aku menjulurkan tangan dan meraih batu aneh itu. Perasaanku mengatakan, itulah batu meteornya... Aku pernah lihat, sih, di kota Pewter, ada empat buah meteorit yang jatuh, bentuknya mirip seperti itu. Hanya saja, meteorit di dekat Kota Pewter warnanya kelabu, tidak putih bersih seperti ini.
Dan ketika ujung jariku menyentuh permukaan kasar batu itu, sekejap tubuhku seperti terserang listrik 100.000 volt-nya Pikachu.



No comments:

Post a Comment