Selamat Datang di blog ini!!
Ini adalah blog yang berisi fanfiction dan beberapa pengalamanku seputar dunia Pokemon.
Enjoy your stay, and don't forget to link back!!


Saturday, September 3, 2011

Bagian 42 - Pedofil?

Jip kecil Rei melaju memasuki gerbang kota Fallarbor. Hal pertama yang kulihat adalah, orang-orang yang tampak sibuk memasang berbagai macam dekorasi di sudut-sudut kota. Berbagai macam lampion dan bendera-bendera kecil dari kertas minyak digantung. Kios-kios kecil didirikan dari tiang dan papan kayu. Suasananya riuh rendah.
Aku mencondongkan tubuhku ke depan. “Oi, Rei, ini ada sibuk-sibuk apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari sebuah lampion raksasa berbentuk Spinda yang didirikan di sisi jalan. “Oh, besok malam akan ada Festival Bulan,” sahut Rei singkat.
“Cantiiiik… Aku ingin ke festivaaal~” seru Chisa kagum. Ia tak berhenti tersenyum melihat berbagai macam dekorasi unik yang dipasang di sepanjang jalan yang kami lalui. Ketiga Pokemonnya; Blazzy si Torchic, Idea si Skitty, dan Mach si Aron, juga tak kalah. Mereka segera keluar dari Pokeball-nya dan ikut mengagumi persiapan festival itu.
“Kurasa saat festival ini dimulai, kau sudah kembali ke rumahmu, jadi jangan banyak harap,” celetuk Rei dengan ketus, menanggapi ucapan Chisa tadi. “Rei!” bentakku kesal. Yang dimarahi cuma melirik dingin melalui spion. “Hm? Tapi benar, kan? Dia harus dipulangkan, bagaimana pun juga,” Rei membela diri.
“Aku belum ingin pulang!” seru Chisa kesal. Matanya berapi-api. Rei hanya mendengus. “Katakan itu pada Ketua Ranger di sini. Dia yang berwenang terhadap kami sekarang.”
Bersamaan dengan itu, Rei memarkir mobilnya dengan mulus di samping sebuah gedung dengan plang “KANTOR RANGER CABANG FALLARBOR”. “Well... Ini dia,” gumam Rei sambil mematikan mesin jipnya. “Luna, tidak mau mengucapkan selamat tinggal?”
“Kau...!” geramku. Tapi Chisa buru-buru menahanku. “Sudahlah, Luna, mungkin sampai di sini saja petualangan kita,” ucapnya dengan nada lirih. Wajahnya yang biasanya penuh dengan luapan semangat, sekarang tampak begitu pasrah dan... sedih. Aku belum pernah melihatnya sedih seperti ini. “Hei, jangan berkata begitu... aku akan sebisa mungkin mengusahakan biar kamu bisa tetap ikut!”
“Oi! Sudah selesai syuting sinetronnya? Cepat masuk!” bentak Rei yang rupanya sudah menunggu di depan pintu masuk gedung. Cih, seandainya saja aku punya sebuah batu bata di tanganku! “Ayo, Luna,” ajak Chisa sambil meraih tanganku. Aku pun mengikutinya sambil menggerutu. Huh... Dasar monster tidak punya hati!
 Di dalam, kami sudah disambut oleh seorang om-om dan seorang pemuda tanggung berambut pirang dan berpakaian Ranger. Kutebak om-om itu adalah si Ketua yang dimaksud, terlihat dari pakaiannya yang sedikit berbeda. Yah, tidak juga sih—ada tanda pengenal tersemat di dadanya. Rei segera menghampiri mereka. “Ketua, ini dua orang yang aku katakan tadi itu.”
Di luar dugaanku, si Ketua malah tersenyum lebar begitu ia melirikku. “Aaah... Murid Spenser, bukan? Luna Kouga, benar bukan?” tanyanya sambil menyeringai. Seringainya begitu lebar, sehingga di mataku bukannya mengesankan ramah, malah bagiku ia jadi terlihat seperti om-om pedofil. Hiiiy! Aku menanggapi ucapannya hanya dengan sebuah anggukan canggung.
“Aahh...” Om-om itu kini beralih ke Chisa—sama denganku, gadis itu juga menatapnya dengan pandangan ngeri. “Chisa Crystalune, apa kau tidak merasa kau sudah berjalan-jalan terlalu jauh?”
Chisa, yang entah dari mana sudah mendapatkan kembali kekuatannya, menggeleng mantap. Wajahnya menunjukkan keberaniannya yang membuncah. “Tidak! Memangnya apa yang membuat Anda berpikir begitu?” balasnya angkuh. “Aku punya Pokemon. Dan mereka semua sangat terlatih dalam pertarungan.”
Mendengar kata-kata diplomatis Chisa, si om-om malah tertawa terbahak-bahak. “Oh, ya ya, tentu saja, kau punya Pokemon-Pokemon yang sangat kuat,” ujarnya di sela-sela tawanya. “Tapi, peraturan tetaplah peraturan, Gadis Manis.”
“Karena itu, aku rasa mungkin sudah waktunya bagi kalian menyingkirkan peraturan kuno itu? Di wilayah-wilayah lainnya, bahkan anak-anak usia 10 tahun boleh melakukan perjalanan dengan Pokemon!” balas Chisa dengan telak. Wow, aku tahu kalau anak ini sungguh pemberani, tapi aku tak menyangka ia akan sejauh itu. Kekagumanku padanya semakin bertambah saja!
Mendengar semua itu, si om-om tidak berkata apa-apa. Malah, ia hanya tersenyum penuh arti pada pemuda Ranger di belakangnya. Seolah sudah mengerti apa yang harus dilakukan, si Ranger muda mengangguk samar. Huh? Kok rasanya gerakan mereka sedikit mencurigakan? Namun, aku hendak membuka mulut ketika si om-om—maksudku Ketua—mengisyaratkan padaku dan Rei untuk mendekat.
“Kalian, ayo ikut denganku,” ujar si Ketua dengan senyuman ramahnya yang justru merindingkan bulu kuduk. “Tunggu dulu, Chisa ba--”
“Anak buahku akan mengurusnya, tenang saja,” potong si Ketua dengan intonasi yang sama ramahnya. Ia berjalan ke bagian dalam gedung kantor, dan karena Rei tampaknya sudah hendak menyemprotku lagi, mau tak mau aku harus ikut. Kutoleh Chisa dengan khawatir. Ia tampak terkejut melihat kami pergi, tapi di saat bersamaan ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena si Ranger pirang menghalanginya dan menggiringnya keluar. Hebat, bahkan aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal!
***
Oleh si om-om pedofil—maksudku, Ketua—kami dibawa ke sebuah ruangan yang agak kecil di sudut kantor. Aku benar-benar berharap orang ini bukan pedofil, mengingat gelagatnya yang agak aneh dan letak ruangannya yang benar-benar berada di sudut yang sepi. Kulirik Rei, ingin tahu bagaimana reaksinya. Tapi percuma, cowok itu tetap pada ekspresi standarnya, wajah kaku sedingin es.

“Nah... Ini ruanganku, kecil namun nyaman,” kata si Ketua sambil duduk di sebuah kursi kulit berwarna hitam, layaknya kursi para bos perusahaan. Aku dan Rei duduk di kursi kecil berbahan sama di hadapannya. Ruangan berukuran sekitar 3x5 meter itu dilengkapi jendela yang cukup besar dan dinding yang dicat putih, simpel. Terasa hangat namun ganjil. 
“Jadi... Dengan bertemunya kalian berdua, misi kalian sudah bisa dimulai,” kata si Ketua membuka percakapan. “Sebagai awalannya, aku hendak memberi kalian misi. Misi yang cukup mudah, namun gagal atau berhasil akan membawa perbedaan yang signifikan,” lanjutnya, mimik wajahnya berubah serius. “Misi apa itu, Ketua?” tanya Rei tidak sabaran.
Si Ketua berdeham pelan. “Kalian ingat dua meteor yang dikabarkan jatuh beberapa waktu yang lalu?” ia balik bertanya. Aku dan Rei mengangguk. “Yang satu mendarat di suatu tempat di dekat Mossdeep, dan satunya lagi...”
“Gua Meteor Jatuh,” selaku. Mendadak semangatku kembali. Ketua tersenyum tipis melihatku yang antusias, lalu melanjutkan petuahnya. “Jadi, aku ingin kalian mendapatkan pecahan meteorit yang ada di Gua Meteor Jatuh, untuk kemudian kalian bawa ke Mossdeep agar orang-orang di sana bisa menelitinya,” ucapnya tenang. “Namun, mungkin kalian juga sudah tahu—meteorit yang mendarat di gua itu ukurannya sangat kecil, dan dari hasil perkiraan pengamat di sekitar sini, pecahan itu hanya ada satu. Yah, mungkin ada lebih lagi, tapi yang pasti jumlahnya sangat sedikit,” terang si Ketua.
“...Dan saya kira, Ranger Bayangan itu juga menginginkannya, benar begitu?” cetus Rei. Ketua mengangguk. “Benar, jadi tugas kalian sekarang, dapatkan pecahan itu, jangan sampai ada satu serpih pun yang jatuh ke tangan Ranger Bayangan,” tegas si Ketua. Ia bangkit dari kursinya, tangannya menekan meja dan ekspresinya begitu serius. “Misinya dimulai besok. Lakukan sebaik mungkin!”
“Siap, laksanakan!” seruku dan Rei berbarengan.

No comments:

Post a Comment